Logika Teroris dan Konspirasi kontradiksi.

IVAN HADAR: LOGIKA TERORIS


Indonesia kembali diguncang beberapa peristiwa kekerasan. Ketika penembakan di kawasan PT Freeport, Papua, masih menjadi berita, Jakarta, Indonesia, dientak ledakan bom di Hotel JW Marriott dan RitzCarlton. Akibat ledakan itu, sembilan orang meninggal dan puluhan orang luka-luka.

Khusus Hotel JW Marriott, ini adalah bom kedua, ledakan pertama, 5 Agustus 2003, menewaskan 12 orang dan melukai 12 orang. Meski belum diketahui apakah ada kaitan—termasuk sinyalemen Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono terkait persaingan perusahaan asing dalam kasus Freeport—ledakan bom di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton memakan korban pejabat perusahaan migas asing di Indonesia, termasuk dua petinggi Freeport. Juga ada yang mensinyalir, ini peristiwa ”konspirasi pasca-pilpres”, atau ulah jaringan teroris.

Secara teoretis, kekerasan— terutama yang berdimensi politik—disebut-sebut sebagai jantung aktivitas terorisme. Namun, selama ini, pelaku berbagai perbuatan terkutuk di Indonesia ini diam seribu bahasa. Kita hanya bisa meraba-raba ”pesan” politik apa di balik aksi ini.

*Logika teror*

Tentang terorisme, ada berbagai definisi mulai yang bersifat umum hingga bernuansa khusus, baik sebagai ”kekerasan yang dirancang menciptakan ketakutan di masyarakat” (Thorton, 2001) atau ”bentuk operasi psikologi” (McEwen, 2001). Sementara para teroris memandang tindakannya sebagai bagian propaganda.

Terorisme bisa dibedakan dari bentuk kekerasan politik lainnya dari dua aspek. Pertama, korban adalah yang kebetulan ada di tempat kejadian, pengunjung, tamu hotel, satpam, penjual rokok, tukang parkir, jemaah rumah ibadah, anak-anak, sopir, dan mereka yang sebenarnya ”terpaksa” atau sengaja dikorbankan untuk tujuan sosial dan politik tertentu.

Kedua, terkait pesan yang ingin disampaikan kepada masyarakat atau publik politik yang dimanipulasi atau diprovokasi untuk aneka tujuan sosial dan politik tertentu (Nur Iman Subono, 2001).

Secara rasional, tindakan kekerasan ini bukan tujuan akhir, tetapi merupakan cara yang dipandang paling efektif untuk aneka capaian lain yang lebih substansial. Aksi teror, umumnya, disertai pernyataan teroris sebagai pihak yang ”bertanggung jawab” berikut tuntutannya.

Celakanya, hal ini tidak muncul dalam berbagai peledakan bom di Indonesia, yang jika pelakunya tertangkap memilih bersikap anonim.

*Berbagai tipe teroris*

Ada berbagai tipe teroris.

Pertama, tipe revolusioner, yaitu kelompok non-negara yang berupaya melawan atau mengubah negara-bangsa, undang-undang dasar, atau menggulingkan pemerintah berkuasa.

Kedua, tipe negara, yakni aneka tindakan pemerintah resmi untuk meneror masyarakatnya sendiri. Caranya, menggunakan death squads sebagai bagian polisi rahasia dengan tugas meneror, menghilangkan dan membunuh, menjebloskan lawan politik ke kamp-kamp konsentrasi, serta berbagai bentuk kekerasan atau intimidasi lain.

Ketiga, state-sponsored, yaitu pemerintah berkuasa menyewa teroris non-negara atau pasukan bayaran untuk mendestabilisasi atau mengintimidasi lawan politik atau kelompok oposisi.

Keempat, entrepreneurial yang adalah kelompok non-negara maupun tentara bayaran, yang bisa disewa untuk aneka tujuan politik (dan ekonomi) terbatas. Teroris bisa berasal dari jenis-jenis itu.

Boleh jadi, sasaran bom dipilih secara acak. Namun bagi mereka yang menjadi bagian jaringan ”terorisme internasional”, Hotel JW Marriott dan RitzCarlton, seperti halnya Gedung WTC di New York, boleh jadi dianggap lambang kekuatan hegemonial dunia yang harus dilawan dengan segala cara. JW Marriott dan Ritz-Carlton Ritz-Carlton adalah jaringan hotel mewah di 23 negara dan bermarkas utama di Chevy Chase, Maryland. Sementara JW Marriott adalah jaringan perhotelan tersukses di dunia. Kisah sukses ”The Marriott” dikembangkan dalam waktu relatif singkat, 20 tahun oleh JW ”Bill” Marriott Jr. Kisah suksesnya sering dijuluki an American Fairy Tale. Dari kenyataan itu, sinyalemen Kedutaan Besar AS di Jakarta pada 2003, JW Marriott sadar dijadikan sasaran ledakan bom, masuk di akal. Hotel ini merupakan jaringan hotel berkantor pusat di AS, menjadi lambang kedigdayaan AS, yang menjadi ”incaran” teroris musuh AS.

Semua paparan itu sekadar upaya mencari logika tentang motivasi di balik tindakan biadab ini. Masih banyak sisi lain yang perlu diperhatikan dalam memburu pelaku, termasuk menganalisis aneka ”teori” konspirasi. Namun melawan terorisme sebagai kejahatan atas kemanusiaan tidak cukup dengan memburu dan menghukum pelaku. Yang tidak kalah penting adalah upaya preventif berupa pembenahan berbagai bidang kehidupan, termasuk meningkatkan kesejahteraan dan membangun solidaritas sebagai bangsa dalam mengatasi berbagai masalah besar.

IVAN A HADAR–Analis Politik-Ekonomi; Wakil Pemred Jurnal Sos Dem / /


Category Article

What's on Your Mind...

bergabung bersama kami